Selasa, 18 Maret 2014

Ceritaku dalam Diaryku

Masa remaja adalah masa paling indah untuk diabadikan. Namun, jika di masa itu penuh dengan kehancuran, dan butuh perjuangan yang tidak mudah, apa kita masih mampu untuk mengabadikannya?
Berawal dari kisah seorang gadis berusia 17 tahun. Dia bernama Afi. Kelihatannya dia sama seperti yang lain. Normal-normal saja, tanpa ada masalah apapun. Tapi sebenarnya tidak. Ternyata ada kanker yang masuk ke dalam tubuhnya sejak dia duduk di bangku SMP. Dan dia pun baru menyadari itu di usia 16 tahun.
SMA N 01 Probolinggo adalah tempat di mana dia menempuh pendidikan sekarang ini. Berada di kelas XII Bahasa, dan menjadi siswa yang berprestasi. Sosok Tama adalah seseorang yang sangat dia cintai dan berharap menjadi yang pertama dan terakhir dalam hidupnya. Tiga tahun sudah mereka menjalin hubungan. Aman, dan tanpa masalah. Namun sekarang sikap Tama terhadap Afi sedikit berubah. Waktu yang diberikan Tama untuk Afi pun semakin berkurang. Jarang ada perhatian seperti dulu. Tetapi dengan kekuatan cintanya, dia mampu untuk bersabar, berpikiran positif, dan sangat yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Satu bulan sudah hubungan mereka seperti ini. Seiring berjalannya waktu, kecurigaan pun muncul dalam benak Afi. Hingga dia memutuskan untuk mencari tahu, apa yang menjadi penyebab dari semua ini. Tanpa dia duga sebelumnya, tenyata ada orang ketiga dalam hubungan mereka. Tentunya keadaan seperti ini membuat dia terpukul. Namun di sisi lain dia sangat tegar, dia tak ingin hubungannya berakhir karena adanya orang ketiga, tetapi karena maut yang telah memisahkan mereka, dan dipertemukan kembali di keabadian Surga. Meskipun Afi tau tentang yang sebenarnya, dia tetap berusaha untuk tenang dan tetap tersenyum di depan Tama, padahal rasa perih dalam hati tak bisa ditahan lagi. “inilah cobaan yang harus aku hadapi”, lirihnya dalam hati.
Setiap malam Afi termenung sendiri, memikirkan masalah yang harus dia lewati dan mencari cara untuk menyelesaikannya tanpa ada kekerasan. “apakah Tama telah lupa akan janji-janjinya dulu? Ah… aku rasa tidak mungkin, siapa tau dia khilaf, karena manusia tempatnya salah” dengan optimis Afi berpikir seperti itu. Tiba-tiba ada setetes darah yang keluar dari hidungnya. Merasakan pusing dan sakit yang luar biasa. Dia tahu, bahwa kanker darah yang dideritanya kambuh. Dia tak mau kedua orang tuanya tahu akan hal ini. Dia berusaha untuk menyembunyikan semuanya karena dia tidak ingin menyusahkan siapa pun, termasuk keluarganya sendiri. Beberapa waktu kemudian, Afi mulai membaik. Dan di saat itu juga ada sebuah pesan dalam handphonenya. Pesan itu dari Tama. “sayang, maaf ya, besok pagi aku tidak bisa menemanimu ke toko buku. Ada suatu hal yang tak bisa kutinggalkan”. Membaca pesan itu, Afi mulai meneteskan air mata. Karena dia tahu, bahwa Tama akan pergi bersama selingkuhannya.
Malam yang kelam berganti pagi yang cerah. Afi bersiap diri untuk pergi ke toko buku tanpa ada yang menemani. Sebenarnya dia mempunyai seorang kakak yang sayang terhadapnya. Namanya Fita. Tetapi kini dia tinggal di Bandung untuk menyelesaikan kuliahnya. “mau ke mana sayang? Ini masih terlalu pagi”, tanya bundanya. “Afi mau ke toko buku bun”, jawabnya dengan penuh kelembutan. “ya sudah kalo begitu, hati-hati ya sayang, jaga diri kamu baik-baik”, “iya bun, Afi berangkat dulu ya, Assalamu’alaikum”, “Wa’alaikumsalam”.
Di tengah perjalanan, tanpa sengaja Afi melihat seorang lelaki yang sama persis dengan Tama. Dan ternyata itu benar. Dia bersama perempuan itu. Berdua di sebuah taman yang sudah menjadi tempat favorit Afi dengan Tama. Tanpa berpikir panjang, Afi menghampiri mereka yang tengah asik bercanda tawa. “kamu nggak pernah ngertiin perasaan aku Tama”, suara Afi itu telah mengagetkan mereka berdua. “kamu ngapain di sini? Bukannya seharusnya kamu ada di toko buku sekarang?”, ucap Tama. “itu nggak penting, yang terpenting sekarang,kamu tentukan, siapa yang sebenrnya ada di dalam hati kamu?” balas Afi. Tama menarik tangan Afi, meninggalkan perempuan itu, dan saling bicara memberikan penjelasan. “kamu tau kan, aku sayang sama kamu, udah tiga tahun kita menjalin hubungan, dan kamu pasti ingat kan, dengan janji-janjimu dulu? Untuk saling setia, mewujudkan impian kita membangun keluarga kecil yang bahagia, saling melengkapi, selalu bersama dalam suka maupun duka, saat senang maupun sedih, saat sakit maupun sehat, apa kamu udah lupa dengan semua itu?” jelas Afi dengan penuh ketegaran. “alaaahh… udahlah, lupain aja, sekarang aku udah punya seseorang yang lebih sempurna daripada kamu..!”. Perkataan Tama dengan nada kasar. “apa salahku? Aku tak percaya kau bisa berubah seperti ini”. “aku cuma pengen cari suasana baru dalam hidup aku, puasss..!”. “jadi sekarang kita…” , “iya, kita putus, dan nggak ada hubungan apa-apa lagi.” Afi segera lari meninggalkan Tama, dan meratapi apa yang telah terjadi pada hari ini.
Sudah tiga hari Afi tidak masuk sekolah. Setiap hari hanya berada di kamar, kedua orangtuanya pun tak didengarkan. Pintu kamarnya terkunci. Dan akhirnya, Fita, kakak Afi pulang ke rumah karena mengetahui keadaan adik yang disayanginya seperti ini. “Afi, buka pintunya, ini kakak sayang, kakak baru pulang dari Bandung, apa kamu tidak rindu dengan kakakmu?” kata Fita untuk membujuk Afi agar mau membukakan pintunya. Tak lama kemudian pintu pun terbuka. Kedua orangtuanya pun membiarkan Fita dan Afi saling berbicara. Karena beliau tahu bahwa hanya Fita yang mampu membuat Afi semakin tenang dan lebih baik. “kenapa kamu termenung sendiri di dalam kamar seperti ini sayang? Ayo, cerita sama kakak”. “Afi nggak kenapa-kenapa kok kak, cuma demam biasa”. Jawab Afi dengan senyum pahit. “tapi wajahmu pucat sayang”. “kakak tenang aja ya, Afi kecapekan doang kok, ntar juga sembuh sendiri”. “bener, kamu nggak kenapa-kenapa?”. “bener kakakku sayang”. “ya sudah kalo gitu, kamu istirahat dulu ya, kakak mau ngobrol-ngobrol sama bunda sama ayah juga”. Senyum manis terlontar dari wajah Fita. “iya kakakku sayang”.
Setelah Afi merasa lebih baik, dia pun memutuskan untuk masuk ke sekolah seperti biasanya. Sebenarnya dia tidak kuat dengan Tama dan selingkuhannya selalu bermesraan tepat di depan dia. Namun apa pun yang terjadi, dia harus ikhlas dengan semua itu dan mencoba untuk tetap tersenyum walaupun di dalam hatinya tersimpan kepedihan. Dengan bangganya Tama memperlihatkan rasa sayangnya terhadap perempuan itu tanpa memikirkan bagaimana perasaan Afi.
Sepulang sekolah, Afi tidak langsung pulang. Tapi dia menuju ke sebuah tempat. Yaitu taman di mana dia bersama Tama menghabiskan waktu berdua untuk bercanda bersama, menikmati indahnya suasana di taman itu, dan yang tak bisa dilupakan oleh Afi sampai sekarang adalah, kenangan indah saat mereka menyanyikan lagu favorit mereka.
“ I can see you, if you’re not with me I can say to my self If you’re OK I can feel you, if you’re not with me I can reach you my self You show me the way “ Tanpa dia sadari, dia pun menyanyikan lagu tersebut pada waktu itu dengan tetesan air mata dan penuh kehancuran. Semuanya telah sirna. Tak ada lagi canda tawa, tak ada lagi kasih sayang, tak ada lagi yang mengusap air matanya di saat dia menangis, dan tak ada yang membuatnya bahagia di saat dia bersedih. Semua hanyalah kenangan, kenangan termanis yang tak akan pernah dia lupakan sampai kapanpun.
Saat perjalanan menuju ke rumah, Afi merasa ada yang aneh,dan ternyata hidungnya mengeluarkan darah lagi. Tak lama kemudian pun dia pingsan. Orang yang melihat dia terkapar berusaha membantunya untuk dibawa ke rumah sakit. Saat dia siuman, dokter menyanyakan di mana keluarganya. Namun dia hanya menjawab “sedang ada urusan dok, saya tidak mau keluarga saya tahu tentang keadaan saya yang sebenarnya”. Sang dokter pun tak mampu berkata. Tanpa berpikir panjang, beliau meminta Afi untuk bebicara empat mata. “sebenarnya saya berat untuk mengatakan ini kepadamu”. Kata dokter. “tidak apa-apa dok, apa pun hasilnya, saya akan menerimanya dengan ikhlas”. “kanker darah yang menyerangmu sudah pada titik stadium akhir. Saya harap, kamu mau untuk melakukan operasi, karena mungkin itu bisa membantumu menjadi lebih baik”. “berapa biaya yang dibutuhkan untuk operasi itu dok?”. “cukup besar dan tidak sedikit. 20 juta rupiah”. (dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu) ucapnya dalam hati. “maaf dok, sepertinya saya tidak bisa melakukan operasi itu”. “lalu bagaimana dengan kondisimu? Kamu butuh perawatan yang tidak mudah”. Afi hanya tertunduk lemas dan tak berdaya memikirkan beban seberat itu yang harus ditanggungnya sendiri karena tidak mau menyusahkan siapa pun.
Dengan perasaan sedih, Afi keluar dari rumah sakit. Karena dia tahu bahwa umurnya tidak lama lagi. Inilah cobaan yang harus dia lalui. Di depan semua orang dia tampak begitu bahagia. Seperti tak ada masalah dalam hidupnya. Setiap malam dia berdo’a, agar Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi dirinya. Dan mendapatkan sebuah keajaiban. Namun tetap saja. Akhir-akhir ini dia sering pingsan. Mengeluarkan darah dalam hidungnya setiap waktu. Sedih dan sakit yang dia rasakan. Dia hanya mampu menangis, menangis, dan menangis, menanti keajaiban yang dirasa itu sangat mustahil untuk menjadi nyata.
Afi tak ingin melewatkan masa-masa yang indah selama hidupnya. Dia selalu melewati hari-hari yang tersisa untuknya dengan penuh keceriaan, kebahagiaan, dan berusaha membuat orang-orang yang dia sayangi tersenyum bahagia, termasuk Tama. Tanpa dia sadari, buku diary miliknya tinggal satu halaman lagi. “apakah itu sebuah pertanda bahwa usiaku tinggal esok hari? Ahh… aku harus positif thinking, mana ada usia ditentukan dengan buku diary. Aku harap, aku masih mempunyai waktu untuk dapat merasakan indahnya hidup, aku masih ingin membahagiakan orang-orang yang aku sayangi dan yang menyayangi aku”. Ucapnya lirih dan penuh ketegaran. Sebelum dia beranjak tidur, dia memohon kepada Tuhan dalam hati (tolong berilah hambamu kesempatan untuk hidup, dan hamba mohon, setelah hamba menutup mata selama tidur, esok hari hamba masih dapat membuka mata kembali. Beri hamba kesempatan, hamba mohon …) .
Dan di esok harinya, permintaan Afi pun terkabulkan. Dia masih bisa membuka matanya kembali. Perasaan senang menyelimuti dalam dirinya. Tak lupa dia menorehkan tinta hitam dalam buku diarynya. Untuk mengungkapkan betapa bahagianya dia hari ini, masih bisa membuka mata menikmati keindahan dunia. Di usianya yang sangat muda, sungguh sayang apabila harus menanggung beban yang begitu berat. Namun dia berbeda dengan teman-teman seusianya. Memiliki sifat yang lebih dewasa, mampu mengerti, dan selalu optimis dalam memikirkan sesuatu hal. Hingga pada akhirnya, darah dalam hidungnya pun keluar yang tak seperti biasanya, menetes di atas kertas, tepat di halaman terakhir pada buku diarynya. Kepala yang dia rasakan begitu sakit. Pandangan hanya seperti bayangan. Dan dia pun pingsan di atas tempat tidurnya. Karena keluarganya tahu bahwa Afi belum keluar kamar dari tadi, membuat penghuni di rumah itu menjadi cemas dan khawatir. “Afi, buka pintunya nak, ini bunda”. Kata bundanya dengan gelisah. “sayang, buka pintunya, ini kakak, ada bunda, ada ayah juga. Ayo buka pintunya sayang”. Karena tidak ada respon sama sekali, ayahnya pun mendobrak pintu kamar Afi. Betapa terkejutnya mereka saat melihat keadaan Afi yang terbaring tanpa daya di atas tempat tidur. Tanpa lama lagi, mereka segera membawa Afi ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Setiba sampai di rumah sakit, dokter pun meminta mereka untuk tetap berada di luar, menunggu hasil pemeriksaan Afi. Saat sang dokter keluar, beliau menggambarkan suasana yang tidak begitu senang. Dan dengan berat hati beliau harus mengucapkan “maaf, nyawa putri ibu dan bapak, tidak dapat terselamatkan”. Air mata tak dapat tertahan lagi. Mereka sangat terpukul mendengar kabar pada saat itu. Ayah Afi pun bertanya, “apa yang sebenarnya tejadi pada putri kami dokter?”. “sebenarnya, dia sudah lama mengalami penyakit kanker darah. Dan kanker itu sudah pada titik stadium akhir. Cara yang dapat membantunya adalah melalui operasi. Namun dia menolaknya, karena dia tahu banwa tak ada biaya untuk melakukan operasi itu”. Jelas sang dokter. “tapi, kenapa dia tidak memberitahu kami tentang hal itu dok?”. “itu karena dia tak mau menyusahkan kaliyan. Dia ingin membahagiakan kaliyan, bukan membuat beban dalam hidup anda sekeluarga”. Fita, kakak Afi, sangat sedih dengan kejadian itu. Dia tak mau melepaskan pelukan pada adik yang sangat dia sayangi. Air matanya tak dapat berhenti. Dia merasa kehilangan seseorang yang terpenting dalam hidupnya. Yang dulu selalu bersama, namun kini dia telah pergi menyisakan kenangan-kenangan indah semasa hidupnya.
Waktu pemakaman tiba, ada sosok Tama yang mengiringinya pula. Seseorang yang pernah singgah dalam hati Afi. Tama tak pernah berpikir sebelumnya, kalau Afi menyimpan rahasia terbesar dalam hidupnya, yaitu mengidap penyakit kanker darah. Setelah pemakaman selesai, Fita menyerahkan sebuah buku yang dia bawa sejak tadi kepada Tama. Kemudian Fita pergi meninggalkan Tama seorang diri. Tanpa berpikir panjang, Tama segera membuka apa isi dari buku itu. Dan ternyata itu adalah buku diary milik Afi, di mana setiap kejadian yang terpenting dalam hidupnya, dia tuliskan di setiap lembar kertas demi kertas. Dan yang pasti, dia menuliskan masa-masa indah selama menjalin hubungan bersama Tama. Akhirnya Tama mengeluarkan air mata, membasahi buku diary Afi. Dia sangat menyesal dengan semua ini. Dia tersadar bahwa, cinta itu tidak melihat dari kesempurnaan dan tidak mengenal kata bosan. Afi adalah orang yang telah dia sia-siakan. Afi mencintainya dengan tulus, sepenuh hati, tanpa memandang kesempurnaan papa dirinya. Hanya kata menyesal, menyesal, dan menyesal yang dia lontarkan. Namun semuanya telah terlambat. Kini Afi telah pergi untuk selama-lamanya dan tak bisa kembali lagi ke dunia. Kata terakhir untuk Tama yang Afi tuliskan dalam buku diary itu adalah,
“Tama.. aku harap kamu mengerti tentang perasaanku yang sebenarnya, aku sangat menyayangimu, aku sangat mencintaimu, aku selalu menunggu perubahan dari sikapmu terhadapku. Aku ingin, kita bisa mewujudkan impian kita dulu, tapi kini hanyalah kata-kata semata, kamu telah dimiliki orang lain, dan usiaku pun takkan lama lagi. Semoga kau bahagia dengan pilihanmu, tetaplah tersenyum dalam keadaan sesulit apa pun, aku telah merelakan semuanya, karena jika kamu bahagia, maka aku pun turut bahagia untukmu, meskipun sebenarnya sakit yang aku rasakan. Tapi percayalah, aku menyayangimu dengan segenap jiwaku. Kamu adalah detak jantungku, kamu adalah nyawa bagiku. Namamu akan selalu kutulis dalam hatiku. Dan cintamu akan aku bawa mati. Terima kasih karena kamu telah memberiku kesempatan untuk merasakan indahnya cinta bersamamu, meskipun berakhir dengan kekecewaan. Selamat tinggal cinta, dan kunantikan dirimu di keabadian …. “

SELESAI



Tidak ada komentar:

Posting Komentar